Semasa Banggo Tubei Suku VIII dipimpin oleh Rio Cendeh berkedudukan di Teras Temambang (± 1.5 km dari Dusun Bungin), Rio Cendeh pergi berkunjung ke Istana di Selibar Daun (Palembang) menemui bibi-nya Puteri Jinor Anum Dayang Gemulak (Isteri Sunan Selibar Daun). Saat itu Palembang masih bernama Selibar Daun; Bengkulu = Sungai Serut; Semelako = Taneak Ubet - mengubet kaen; dan Amen = Taneak Gu-au - mengajea pacok.
Sejarah Rejang - Riwayat Tenggelamnya Teras Temambang
Ketika pulang ke Teras Temambang, Rio Cendeh mendapatkan cinderamata dari Sunan Palembang berupa seekor ikan yang terbuat dari emas murni, menerima hadiah itu, betapa senangnya Rio Cendeh dan rakyat Teras Temambang, dan sebagai ungkapan kegembiraan itu, maka diadakanlah Bimbang/Kejai (yang merupakan adat Jang sebagai rasa tanda terima kasih) yang direncanakan dilaksanakan selama sembilan bulan lamanya.
Guna memeriahkan dan meramaikan acara Bimbang ini, maka diundanglah semua Ajai Lot, Ajai Ai, Para Pemimpin/Ketua dari daerah lain, terutama para remaja guna untuk menari cara Jang menurut adat.
Selama dua bulan pertama, acara kejai sangat ramai dikunjungi oleh tamu, para penari dari luar daerah. Namun setelah itu keadaan mulai berangsur-angsur sepi, hingga akhirnya tinggallah para remaja Teras Temambang yang tetap melaksanakan kejai.
Pada waktu itulah terjadi pelanggaran-pelanggaran adat/perbuatan yang tidak senonoh dan pada akhirnya setelah mereka merasa puas dan bosan dengan memakai pakaian adat, mereka mulai memakai pakaian seadanya bahkan hanya membalut tubuhnya dari bekas jala.
Mendengar kejadian kejai yang telah melanggar adat itulah, maka Tateak Sembilan (Putera Biku Bermano di Kuto Rukam Tes) pergi ke Teras Temambang.
Dari kisah perjalanan Tateak Sembilan inilah, maka ada beberapa tempat yang dilaluinya diberi nama :
1. Peluwen = nama tempat penyeberangan Tateak Sembilan di Danau Tes;
2. Sungai Te-ep = nama sungai di sekitar sungai Ketahun, tempat Tateak Sembilan mengambil kulit kayu (Te-ep) untuk dibuat pakaian;
3. Sungai Buyuak = Sungai yang diseberangi oleh Tateak Sembilan dan diwaktu menyeberangi sungai ini baju Tateak Sembilan (terbuat dari kulit kayu basah = me-ya-uyuak), maka bernamalah sungai itu = sungai Buyuak;
4. Sungai Peluwen = Sungai yang terakhir kali diseberangi oleh Tateak Sembilan, hingga sampailah Tateak Sembilan di Teras Temambang.
Setelah sampainya Tateak Sembilan di Teras Temambang, ia menumpang dirumah janda tua dan miskin yaitu rumah Puteri Bunga Melur (Tubei Anyut - diwaktu tenggelamnya Teras Temambang).
Dari rumah inilah, Tateak Sembilan pulang pergi melihat kejai, dan setiap kali Tateak Sembilan datang melihat kejai di Balai, ia selalu mendapatkan cemoohan dan hinaan (karena Tateak sembilan selalu menyamar menjadi orang yang tua, jelek, kotor dan tubuhnya penuh dengan kudis yang berbau busuk), maka ia selalu diusir dari Balai.
Tateak Sembilan memperhatikan segala tingkah laku dan kesombongan masyarakat Teras Temambang yang sudah melampaui batas, maka pada saat itulah Tateak Sembilan menancapkan 7 lidi kelapa hijau di halaman Balai, karena perbuatan Tateak Sembilan ini kemarahan dan caci maki masyarakat di Teras Temambang semakin menjadi, mereka menendang dan mencabuti ke 7 buah lidi tadi, namun tidak sedikitpun lidi itu bergerak. Menyadari akan hal ini, maka mereka memerintahkan Tateak Sembilan untuk mencabut lidi tersebut dengan alasan bahwa lidi-lidi yang ditanam Tateak Sembilan tersebut hanya mengotori halaman Balai, maka Tateak Sembilan mencabuti lidi-lidi tersebut hanya dengan mencuilkan kakinya, dan dari ketujuh lubang lidi itu keluarlah 7 mata air dengan derasnya.
Melihat air mancur yang mengalir itu, betapa senangnya mereka, karena mereka tidak perlu untuk jauh-jauh mencari air untuk mencuci kaki. Makin lama air semakin membesar hingga memasuki rumah-rumah mereka, namun mereka tetap tidak menyadari dan dengan senangnya berkata, “kita tidak perlu jauh-jauh mengambil air kesungai, dan ini pasti adalah ganjaran dan keuntungan bagi kita, karena kita telah mengadakan kejai”.
Sementara itu Tateak Sembilan pulang kembali kerumah Puteri Bunga Melur dan berkata “Nek kampung ini akan tenggelam, dan bila waktunya nanti, naiklah nenek ke rakit dari bambu ini, sedangkan aku akan kembali ke Kuto Rukam”.
Sepeninggalnya Tateak Sembilan, tenggelamlah kampung Teras Temambang dengan segala isinya dan hanya beberapa orang yang dapat menyelamatkan diri.
Puteri Bunga Melur hanyut bersama rakitnya dan terdampar di dusun Serajo Ketahun, sedangkan Rio Cendeh melarikan diri ke Danau Rayeh Rawas.
Mendengar tenggelamnya Teras Temambang, Rio Pijar yang sedang berada di Air Kotok Bintuhan Lais, pulang untuk menyaksikan kejadian itu, hingga sampailah ia ke suatu puncak bukit (Bukit Pabes) untuk melihat Kampung Teras Temambang yang sudah tenggelam. Diwaktu ia di puncak bukit Pabes ia meletakkan sangkar burung yang dibawanya diatas pohon kayu (hingga saat ini hal yang menyerupai sangkar burung itu masih dapat disaksikan).
Setelah melihat dari puncak bukit Pabes, Rio Pijar kembali meneruskan perjalanannya untuk lebih dekat ke Teras Temambang, hingga Rio Pijar sampailah di suatu bukit kecil dipinggir Sungai Lako, maka Rio Pijarpun shalat sunnat (maka sungai tersebut disebut dengan sungai Biang), setelah shalat, Rio Pijar kembali melihat Teras Temambang yang telah tenggelam, dan diatas air yang meluap-luap itu, tampaklah olehnya seekor ular yang berenang menuju kearahnya. Setelah ular tersebut mendekat, berkatalah Rio Pijar “ ini adalah jelmaan keris ayahku Setia Merah Depati”, maka dan ditangkapnyalah ular tersebut, sehingga ular tersebut berubah kembali berbentuk keris, maka disebutlah keris tersebut dengan nama Mecer Awang.
Untuk membuktikan akan keberadaan tenggelamnya Teras Temambang, bermalamlah dipinggir Teras Temambang (Danau Jenudam - saat ini) tepat pada tengah malam, malam 14 - 15 bulan arab, dalam keadaan sunyi dan sepi akan terdengar sayup-sayup bunyi gong kelintang, tetapi bila kita mengangkat kepala untuk memastikan arah suara tersebut, maka suara tersebut akan hilang.
Sumber : http://rejang-lebong.blogspot.com/2008/06/riwayat-tenggelamnya-teras-temambang.html
0 comments:
Post a Comment